Senin, 05 Mei 2014

PENGGUGURAN KANDUNGAN YANG DIDASARKAN PADA DIAGNOSIS PENYAKIT JANIN


Segala puji kepunyaan Allah. Shalawat dan salam semoga
tercurahkan kepada Rasulullah. Wa ba'du.

Diantara kewajiban ahli fiqih muslim ialah berhenti di hadapan
beberapa persoalan yang dihadapinya untuk menetapkan beberapa
hakikat penting, antara lain:

Bahwa kehidupan janin (anak dalam kandungan) menurut pandangan
syariat Islam merupakan kehidupan yang harus dihormati, dengan
menganggapnya sebagai suatu wujud yang hidup yang wajib
dijaga, sehingga syariat memperbolehkan wanita hamil untuk
berbuka puasa (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, bahkan
kadang-kadang diwajibkan berbuka jika ia khawatir akan
keselamatan kandungannya. Karena itu syariat Islam
mengharamkan tindakan melampaui batas terhadapnya, meskipun
yang melakukan ayah atau ibunya sendiri yang telah
mengandungnya dengan susah payah. Bahkan terhadap kehamilan
yang haram --yang dilakukan dengan jalan perzinaan-- janinnya
tetap tidak boleh digugurkan, karena ia merupakan manusia
hidup yang tidak berdosa:

"... Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain ..." (al-Isra': 15)

Selain itu, kita juga mengetahui bahwa syara' mewajibkan
penundaan pelaksanaan hukum qishash terhadap wanita hamil yang
dijatuhi jenis hukuman ini demi menjaga janinnya, sebagaimana
kisah wanita al-Ghamidiyah yang diriwayatkan dalam kitab
sahih. Dalam hal ini syara' memberi jalan kepada waliyul-amri
(pihak pemerintah) untuk menghukum wanita tersebut, tetapi
tidak memberi jalan untuk menghukum janin yang ada di dalam
kandungannya.

Seperti kita lihat juga bahwa syara' mewajibkan membayar diat
(denda) secara sempurna kepada seseorang yang memukul perut
wanita yang hamil, lalu dia melahirkan anaknya dalam keadaan
hidup, namun akhirnya mati karena akibat pukulan tadi. Ibnul
Mundzir mengutip kesepakatan ahli ilmu mengenai masalah ini.2

Sedangkan jika bayi itu lahir dalam keadaan mati, maka dia
tetap dikenakan denda karena kelengahannya (ghirrah), sebesar
seperdua puluh diat.

Kita juga melihat bahwa syara' mewajibkan si pemukul membayar
kafarat --disamping diat dan ghirrah-- yaitu memerdekakan
seorang budak yang beriman, jika tidak dapat maka ia harus
berpuasa dua bulan berturut-turut. Bahkan hal itu diwajibkan
atasnya, baik janin itu hidup atau mati.

Ibnu Qudamah berkata, "Inilah pendapat kebanyakan ahli ilmu,
dan pendapat ini juga diriwayatkan dari Umar r.a.. Mereka
berdalil dengan firman Allah:

"... dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena
tersalah (tidak sengaja) hendaklah ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat
yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.
Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu,
padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh)
memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si
terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai)
antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh)
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yangmukmin.
Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia
(si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai
cara tobat kepada Allah; dan adalah Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (an-Nisa': 92)

Mereka berkata, "Apabila wanita hamil meminum obat untuk
menggugurkan kandungannya, maka ia wajib membayar denda, tidak
boleh mewarisi sesuatu daripadanya (sebab orang yang membunuh
tidak boleh mewarisi sesuatu dari yang dibunuh), dan wajib
memerdekakan seorang budak. Denda tersebut hendaklah diberikan
kepada ahli waris si janin. Semua sanksi itu dikenakan padanya
karena ia telah melakukan perbuatan jahat yaitu menggugurkan
janin. Sedangkan memerdekakan budak merupakan kafarat bagi
tindak kejahatannya. Demikian pula jika yang menggugurkan
janin itu ayahnya maka si ayah harus membayar denda, tidak
boleh mewarisi sesuatu daripadanya, dan harus memerdekakan
budak."

Jika tidak mendapatkan budak (atau tidak mampu memerdekakan
budak), maka ia harus berpuasa selama dua bulan
berturut-turut, sebagai cara tobat kepada Allah SWT.

Lebih dari itu adalah perkataan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla
mengenai pembunuhan janin setelah ditiupkannya ruh, yakni
setelah kandungan berusia seratus dua puluh hari, sebagaimana
disebutkan dalam hadits sahih. Ibnu Hazm menganggap tindakan
ini sebagai tindak kejahatan pembunuhan dengan sengaja yang
mewajibkan pelakunya menanggung segala risiko, seperti hukum
qishash dan lain-lainnya. Beliau berkata:

"Jika ada orang bertanya, 'Bagaimana pendapat Anda mengenai
seorang perempuan yang sengaja membunuh janinnya setelah
kandungannya berusia seratus dua puluh hari, atau orang lain
yang membunuhnya dengan memukul (atau tindakan apa pun)
terhadap perut si perempuan itu untuk membunuh si janin?' Kami
jawab bahwa sebagai hukumannya wajib dikenakan hukum qishash,
tidak boleh tidak, dan ia tidak berkewajiban membayar denda.
Kecuali jika dimaafkan, maka dia wajib membayar ghirrah atau
denda saja karena itu merupakan diat, tetapi tidak wajib
membayar kafarat karena hal itu merupakan pembunuhan dengan
sengaja. Dia dikenakan hukuman qishash karena telah membunuh
suatu jiwa (manusia) yang beriman dengan sengaja, maka
menghilangkan (membunuh) jiwa harus dibalas dengan dibunuh
pula. Meski demikian, keluarga si terbunuh mempunyai dua
alternatif, menuntut hukum qishash atau diat, sebagaimana
hukum yang ditetapkan Rasulullah saw. terhadap orang yang
membunuh orang mukmin. Wa billahit taufiq."

Mengenai wanita yang meminum obat untuk menggugurkan
kandungannya, Ibnu Hazm berkata:

"Jika anak itu belum ditiupkan ruh padanya, maka dia (ibu
tersebut) harus membayar ghirrah. Tetapi jika sudah ditiupkan
ruh padanya --bila wanita itu tidak sengaja membunuhnya-- maka
dia terkena ghirrah dan kafarat. Sedangkan jika dia sengaja
membunuhnya, maka dia dijatuhi hukum qishash atau membayar
tebusan dengan hartanya sendiri."4

Janin yang telah ditiupkan ruh padanya, oleh Ibnu Hazm
dianggap sebagai sosok manusia, sehingga beliau mewajibkan
mengeluarkan zakat fitrah untuknya. Sedangkan golongan
Hanabilah hanya memandangnya mustahab, bukan wajib.

Semua itu menunjukkan kepada kita betapa perhatian syariat
terhadap janin, dan betapa ia menekankan penghormatan
kepadanya, khususnya setelah sampai pada tahap yang oleh
hadits disebut sebagai tahapan an-nafkhu fir-ruh (peniupan
ruh). Dan ini merupakan perkara gaib yang harus kita terima
begitu saja, asalkan riwayatnya sah, dan tidak usah kita
memperpanjang pembicaraan tentang hakikatnya, Allah berfirman:

"... dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan
sedikit." (al-Isra': 85)

Saya kira, hal itu bukan semata-mata kehidupan yang dikenal
seperti kita ini, meskipun para pensyarah dan fuqaha
memahaminya demikian. Hakikat yang ditetapkan oleh ilmu
pengetahuan sekarang secara meyakinkan ialah bahwa kehidupan
telah terjadi sebelum itu, hanya saja bukan kehidupan manusia
yang diistilahkan oleh hadits dengan "peniupan ruh." Hal ini
ditunjuki oleh isyarat Al- Qur'an:

"Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam
(tubuh)-nya ruh (ciptaan)-Nya ..." (as-Sajdah: 9)

Tetapi diantara hadits-hadits sahih terdapat hadits yang
tampaknya bertentangan dengan hadits Ibnu Mas'ud yang
menyebutkan diutusnya malaikat untuk meniup ruh setelah usia
kandungan melampaui masa tiga kali empat puluh hari (120
hari).

Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits
Hudzaifah bin Usaid, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah
saw. bersabda:

"Apabila nutfah telah berusia empat puluh dua malam,
maka Allah mengutus malaikat, lalu dibuatkan bentuknya,
diciptakan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya,
dagingnya, dan tulangnya. Kemudian malaikat bertanya,
ra Rabbi, laki-laki ataukah perempuan?' Lalu Rabb-mu
menentukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan malaikat
menulisnya, kemudian dia (malaikat) bertanya, Ya Rabbi,
bagaimana ajalnya?' Lalu Rabb-mu menetapkan sesuai
dengan yang dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya.
Kemudian ia bertanya, 'Ya Rabbi, bagaimana rezekinya?'
Lalu Rabb-mu menentukan sesuai dengan yang
dikehendaki-Nya, dan malaikat menulisnya. Kemudian
malaikat itu keluar dengan membawa lembaran catatannya,
maka ia tidak menambah dan tidak mengurangi apa yang
diperintahkan itu."5

Hadits ini menjelaskan diutusnya malaikat dan dibuatnya bentuk
bagi nutfah setelah berusia enam minggu (empat puluh dua
hari)6 bukan setelah berusia seratus dua puluh hari
sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Mas'ud yang terkenal
itu. Sebagian ulama mengompromikan kedua hadits tersebut
dengan mengatakan bahwa malaikat itu diutus beberapa kali,
pertama pada waktu nutfah berusia empat puluh hari, dan kali
lain pada waktu berusia empat puluh kali tiga hari (120 hari)
untuk meniupkan ruh.7

Karena itu para fuqaha telah sepakat akan haramnya
menggugurkan kandungan setelah ditiupkannya ruh padanya. Tidak
ada seorang pun yang menentang ketetapan ini, baik dari
kalangan salaf maupun khalaf.8

Adapun pada tahap sebelum ditiupkannya ruh, maka diantara
fuqaha ada yang memperbolehkan menggugurkan kandungan sebelum
ditiupkannya ruh itu, sebagian saudara kita yang ahli
kedokteran dan anatomi mengatakan, "Sesungguhnya hukum yang
ditetapkan para ulama yang terhormat itu didasarkan atas
pengetahuan mereka pada waktu itu. Andaikata mereka mengetahui
apa yang kita ketahui sekarang mengenai wujud hidup yang
membawa ciri-ciri keturunan (gen) kedua orang tuanya dan
keluarganya serta jenisnya, niscaya mereka akan mengubah hukum
dan fatwa mereka karena mengikuti perubahan 'illat (sebab
hukum), karena hukum itu berputar menurut 'illat-nya, pada
waktu ada dan tidak adanya 'illat."

Diantara kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya ialah bahwa
di kalangan ahli kandungan dan anatomi sendiri terdapat
perbedaan pendapat --sebagaimana halnya para fuqaha-- di dalam
menetapkan kehidupan janin pada tahap pertama: sebelum berusia
42 hari dan sebelum 120 hari. Perbedaan diantara mereka ini
juga memperkokoh perbedaan pendapat para fuqaha mengenai janin
sebelum berusia 40 hari dan sebelum 120 hari.

Barangkali ini merupakan rahmat Allah kepada manusia agar
udzur dan darurat itu mempunyai tempat.

Maka tidak apalah apabila saya sebutkan sebagian dari
perkataan fuqaha mengenai persoalan ini:

Syekhul Islam al-Hafizh Ibnu Hajar didalam Fathul-Bari
menyinggung mengenai pengguguran kandungan --setelah
membicarakan secara panjang lebar mengenai masalah 'azl
(mencabut zakar untuk menumpahkan sperma di luar vagina pada
waktu ejakulasi) serta perbedaan pendapat ulama tentang boleh
dan tidaknya melakukan hal itu, yang pada akhirnya beliau
cenderung memperbolehkannya karena tidak kuatnya dalil pihak
yang melarangnya. Beliau berkata:

"Dan terlepas dari hukum 'azl ialah hukum wanita menggunakan
obat untuk menggugurkan (merusak) nutfah (embrio) sebelum
ditiupkannya ruh. Barangsiapa yang mengatakan hal ini
terlarang, maka itulah yang lebih layak; dan orang yang
memperbolehkannya, maka hal itu dapat disamakan dengan 'azl.
Tetapi kedua kasus ini dapat juga dibedakan, bahwa tindakan
perusakan nutfah itu lebih berat, karena 'azl itu dilakukan
sebelum terjadinya sebab (kehidupan), sedangkan perusakan
nutfah itu dilakukan setelah terjadinya sebab kehidupan
(anak)."9

Sementara itu, diantara fuqaha ada yang membedakan antara
kehamilan yang berusia kurang dari empat puluh hari dan yang
berusia lebih dari empat puluh hari. Lalu mereka
memperbolehkan menggugurkannya bila belum berusia empat puluh
hari, dan melarangnya bila usianya telah lebih dari empat
puluh hari. Barangkali yang menjadi pangkal perbedaan pendapat
mereka adalah hadits Muslim yang saya sebutkan di atas.
Didalam kitab Nihayah al-Muhtaj, yang termasuk kitab mazhab
Syafi'i, disebutkan dua macam pendapat para ahli ilmu mengenai
nutfah sebelum genap empat puluh hari:

"Ada yang mengatakan bahwa hal itu tidak dapat dihukumi
sebagai pengguguran dan pembunuhan. Ada pula yang mengatakan
bahwa nutfah harus dihormati, tidak boleh dirusak, dan tidak
boleh melakukan upaya untuk mengeluarkannya setelah ia menetap
di dalam rahim (uterus)."10

Diantara fuqaha ada pula yang membedakan antara tahap sebelum
penciptaan janin dan tahap sesudah penciptaan (pembentukan).
Lalu mereka memperbolehkan aborsi (pengguguran) sebelum
pembentukan dan melarangnya setelah pembentukan.

Didalam an-Nawadir, dari kitab mazhab Hanafi, disebutkan,
"Seorang wanita yang menelan obat untuk menggugurkan
kandungannya, tidaklah berdosa asalkan belum jelas
bentuknya."11

Didalam kitab-kitab mereka juga mereka ajukan pertanyaan:
bolehkah menggugurkan kandungan setelah terjadinya kehamilan?
Mereka menjawab: Boleh, asalkan belum berbentuk.

Kemudian di tempat lain mereka berkata, "Tidaklah terjadi
pembentukan (penciptaan) melainkan setelah kandungan itu
berusia seratus dua puluh hari. "

Tidak ada komentar:

Posting Komentar